Alhamdulillah, Rasanya tiada kata yang memang sepantasnya terucap selain kata itu, yaa sekali lagi alhamdulillah. Tak terasa 10 th sudah, berada di kampus tercinta ini, dengan berbagai ragam dinamikanya.
Paradigma, sebuah cara melihat persoalan
Ditengah era yang semakin serba persaingan ini, maka tak ada cara untuk senantiasa menunjukkan eksistensi intitusional selain dengan menampakkan, menunjukkan dan memberikan harapan harapan berupa kenyataan. Eksintensi Institusional kita akan semakin tenggelam ditengah persaingan manakala, para penghuni institusi itu tak pernah mau belajar dari sejarah sebuah kegagalan. Kegagalan eksistensi sebuah peradaban atau bangsa sekalipun, senantiasa diawali dari benih benih rasa yang disebut ketakaburan. Itulah awal sebuah institusi, bangsa, atau peradaban mengawali kehancurannya.
Persoalan senantiasa ada, dan persoalan itu adalah sesuatu yang include dalam kehidupan dan kematian sekalipun. mahasiswa kuliah harus punya pesoalan, mau lulus harus ada persoalan, sudah lulus cari kerja persoalan, mau nikah juga persoalan, punya istri juga persoalan, ada anak persoalan......................bahkan ketika seorang dalam kubur sekalipun juga membawa persoalan. Institusi juga punya persoalan, persoalan persoalan institusional harus segera diselesaikan untuk menatap tantangan era global masa datang. Secara psikologi sosial, bahwa sesungguhnya kalo dicermati, nuansa persoalan institusioanal, lebih bersifat personal-institusional, bahkan cenderung pada emotional-personal-institusional. Akibatnya sulit untuk melakukan synergi struktural dan personal, karena nuansa persoalan intitusionalnya "mbuuuuulet" pada persoalan emosional-personal-intitusional. Padahal dibutuhkan wacana, gagasan-gagasan, bahkan terobosan besar untuk menjadi institusi unggulan masa depan, tanpa synergi sangat mustahil untuk bisa dilakuakn. Sementara intitusi yang lain yang merupakan mitra kalau tidak mau dibilang pesaing , justru sudah memasuki wilayah nasional, bahkan menembus wilayah internasional atau transnasional.
Ada sebuah cerita, sebuah keluarga sedang bersiap untuk melakukan family day, siap bersenang-gembira, seluruh anggota keluarga merasa sudah siap untuk berbahagia, tak dinyana ketika mereka akan berangkat menikmati rencana yg sudah matang, datanglah tetangganya yang meberikan sebuah bingkisan dan kemudian pulang. Mendapat hadiah keluarga tersebut, penasaran, lantas dikumpulkan seluruh anggota keluarga, untuk menyaksikan hadiah apa yg diberikan tetangga pada mereka. ternyata .............................setelah dibuka, isinya kotoran kerbau. Kawan bagaimana rasanya kalu engkau adalah keluarga tersebut, mungkin kalau orang Surabaya, sudah misuh-misuh, sumpah serapah keluar dari mulut yang dibakar emosi dalam hati, kurang ajar, semprul. dan masih banyak lagi. Namun tak disangka ........ keluarga ini segera datang menuju rumah tetangganya dan meberikan ucapan syukur atas pemberian tetangganya, dengan wajah kegembiraan. Apa yang terjadi? Apa yang membuat kita marah, sumpah serapah, emosi menantang rasa amarah, atau mengapa keluarga tersebut begitu gembira. Kotorannyakah penyebabnya. kalu kotoran penyebabnya ranya takkan terjadi dua rasa yang bereda, tak ada perbedaan sikap dalam implementasinya.
Perbedaan sikap itu terjadi, karena cara pandang terhadap kotoran tersebut, ada yang memandang pemberian hadiah kotoran sebagai sebuah "penghinaan", merendahkan martabat, derajat, harga diri. Namun keluarga tersebut tidak demikian. Mereka memnadang dari sudut yang jauh berbeda, cara pandangnya adalah ternyata tetangganya sangat faham dengan kebutuhannya, bahwa sebagian tanamannya membutuhkan pupuk yang keluarga terebut sulit untuk mencarinya. sehingga yg terjadi adalah rasa syukur dan terima kasih pada Allah dan tetangganya tersebut. Kotorankah penyebab substansinya? tidak, cara pandang kitalah yang dapat menjadikan implementasi sikap yg berbeda. Cara pandang itulah yang disebut Paradigma. Mari merubah paradigma , sekat emosional-personal ditipiskan, "mungkin masih belum bisa untuk dikatakan dihilangkan, supaya tidak merambah lebih jauh ke wilayah institusional, mari membuat pradigma baru membangun institusi dengan bersinergi, sehingga persolan intitusional dapat tereliminasi, sehingga tatapan optimisme kebangkitan semakin menggelora, mari bersama, satukan cita-cita, satuakan tekad satukan tujuan satukan langkah, "Bersama Kita Bisaaaaaaa".!!!
Paradigma, sebuah cara melihat persoalan
Ditengah era yang semakin serba persaingan ini, maka tak ada cara untuk senantiasa menunjukkan eksistensi intitusional selain dengan menampakkan, menunjukkan dan memberikan harapan harapan berupa kenyataan. Eksintensi Institusional kita akan semakin tenggelam ditengah persaingan manakala, para penghuni institusi itu tak pernah mau belajar dari sejarah sebuah kegagalan. Kegagalan eksistensi sebuah peradaban atau bangsa sekalipun, senantiasa diawali dari benih benih rasa yang disebut ketakaburan. Itulah awal sebuah institusi, bangsa, atau peradaban mengawali kehancurannya.
Persoalan senantiasa ada, dan persoalan itu adalah sesuatu yang include dalam kehidupan dan kematian sekalipun. mahasiswa kuliah harus punya pesoalan, mau lulus harus ada persoalan, sudah lulus cari kerja persoalan, mau nikah juga persoalan, punya istri juga persoalan, ada anak persoalan......................bahkan ketika seorang dalam kubur sekalipun juga membawa persoalan. Institusi juga punya persoalan, persoalan persoalan institusional harus segera diselesaikan untuk menatap tantangan era global masa datang. Secara psikologi sosial, bahwa sesungguhnya kalo dicermati, nuansa persoalan institusioanal, lebih bersifat personal-institusional, bahkan cenderung pada emotional-personal-institusional. Akibatnya sulit untuk melakukan synergi struktural dan personal, karena nuansa persoalan intitusionalnya "mbuuuuulet" pada persoalan emosional-personal-intitusional. Padahal dibutuhkan wacana, gagasan-gagasan, bahkan terobosan besar untuk menjadi institusi unggulan masa depan, tanpa synergi sangat mustahil untuk bisa dilakuakn. Sementara intitusi yang lain yang merupakan mitra kalau tidak mau dibilang pesaing , justru sudah memasuki wilayah nasional, bahkan menembus wilayah internasional atau transnasional.
Ada sebuah cerita, sebuah keluarga sedang bersiap untuk melakukan family day, siap bersenang-gembira, seluruh anggota keluarga merasa sudah siap untuk berbahagia, tak dinyana ketika mereka akan berangkat menikmati rencana yg sudah matang, datanglah tetangganya yang meberikan sebuah bingkisan dan kemudian pulang. Mendapat hadiah keluarga tersebut, penasaran, lantas dikumpulkan seluruh anggota keluarga, untuk menyaksikan hadiah apa yg diberikan tetangga pada mereka. ternyata .............................setelah dibuka, isinya kotoran kerbau. Kawan bagaimana rasanya kalu engkau adalah keluarga tersebut, mungkin kalau orang Surabaya, sudah misuh-misuh, sumpah serapah keluar dari mulut yang dibakar emosi dalam hati, kurang ajar, semprul. dan masih banyak lagi. Namun tak disangka ........ keluarga ini segera datang menuju rumah tetangganya dan meberikan ucapan syukur atas pemberian tetangganya, dengan wajah kegembiraan. Apa yang terjadi? Apa yang membuat kita marah, sumpah serapah, emosi menantang rasa amarah, atau mengapa keluarga tersebut begitu gembira. Kotorannyakah penyebabnya. kalu kotoran penyebabnya ranya takkan terjadi dua rasa yang bereda, tak ada perbedaan sikap dalam implementasinya.
Perbedaan sikap itu terjadi, karena cara pandang terhadap kotoran tersebut, ada yang memandang pemberian hadiah kotoran sebagai sebuah "penghinaan", merendahkan martabat, derajat, harga diri. Namun keluarga tersebut tidak demikian. Mereka memnadang dari sudut yang jauh berbeda, cara pandangnya adalah ternyata tetangganya sangat faham dengan kebutuhannya, bahwa sebagian tanamannya membutuhkan pupuk yang keluarga terebut sulit untuk mencarinya. sehingga yg terjadi adalah rasa syukur dan terima kasih pada Allah dan tetangganya tersebut. Kotorankah penyebab substansinya? tidak, cara pandang kitalah yang dapat menjadikan implementasi sikap yg berbeda. Cara pandang itulah yang disebut Paradigma. Mari merubah paradigma , sekat emosional-personal ditipiskan, "mungkin masih belum bisa untuk dikatakan dihilangkan, supaya tidak merambah lebih jauh ke wilayah institusional, mari membuat pradigma baru membangun institusi dengan bersinergi, sehingga persolan intitusional dapat tereliminasi, sehingga tatapan optimisme kebangkitan semakin menggelora, mari bersama, satukan cita-cita, satuakan tekad satukan tujuan satukan langkah, "Bersama Kita Bisaaaaaaa".!!!
Komentar
Posting Komentar